M Sanusi, anggota DPRD DKI
Jakarta
dari Fraksi Gerindra yang juga ketua Komisi D menjadi tersangka dalam
kasus dugaan suap yang dilakukan PT Agung Podomoro Land (APL). Praktik
suap ini terkait pembahasan revisi Raperda Zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil (RZWP3K) dan Raperda Tata Ruang Strategis Jakarta
Utara yang tengah dilakukan di DPRD DKI sejak pertengahan tahun 2015
lalu.
Pembahasan dua perda ini terbilang alot. Sebab hingga akhir tahun 2015 belum juga diketok oleh DPRD.
Dalam
revisi perda tersebut ada beberapa hal terkait kewajiban yang harus
dipenuhi pengembang yang ingin melakukan reklamasi teluk atau pantau
utara Jakarta. Salah satunya pengembang wajib memberikan 15 persen
kepada DKI dari harga setiap tanah yang mereka jual. Namun syarat ini
dianggap berat, sebab dalam rapat terakhir soal perda ini dirinya pernah
mendapat informasi dari Sekda DKI Saefullah, ada yang meminta nilai itu
diturunkan.
"Waktu rapat dengan tim, sekda katakan ada tawaran
mau ngurangin 15 persen dan kita ada hitungan. Saya bilang ini juga
enggak adil, panggil tenaga ahli mulai ngitung berapa yang pantas? Saya
sampaikan harus ada kewajiban tambahan membantu Jakarta tidak banjir,
bukan mengatakan menjamin tidak banjir, dia akan ngeles, belum bikin
pulau juga banjir. Saya enggak mau dia alasan gitu. Saya bilang mesti
diubah, buat perda biar lebih kuat," kata Ahok saat ditemui di Rusun
Marunda, Cilincing, Jakarta, Sabtu (2/4).
Dia lantas membeberkan
sejumlah kelemahan Keppres no 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai
Utara Jakarta. Dalam Keppres ini kewajiban yang dibebankan pada
pengembang terkesan sangat minim dan berpeluang untuk diabaikan.
"Hanya
atur gini, pengembang wajib berikan 5 persen wilayah dari pulau itu
kepada DKI. Kalau kamu sebut hanya 5 persen, bisa saja kalau
pengembangnya pintar, mereka katakan 5 persen ini sudah termasuk fasum
fasos. Makanya mesti diubah dengan kata yang jelas, apa? 5 persen dari
total pulau dari hitungan tanah yang bisa dijual baru jelas, sebab tidak
disebutkan pun kita sudah dapat 40 persen lebih dari fasilitas umum,"
jelasnya.
Kalimat lain yang dianggapnya kurang tepat, soal
pengembang hanya diminta berkewajiban menjaga darat agar Jakarta tidak
kebanjiran. Menurutnya, tanpa ada perintah itu, pengembang memang harus
mematuhi aturan agar di mana reklamasi harus berjarak 200-300 meter.
"Makanya
kaya 17 pulau itu sampai bentuknya begitu bukan saya yang bikin loh.
Itu sudah dibikin sebelum saya masuk oleh keppres, perda, bentuk pulau
pun termasuk pulaunya ada kabel ada PLTU, kan ada PLTU Pluit buang air
panas, kan satu pulau itu diilangin enggak boleh, karena akan
menghalangi arus air panas," bebernya.
Beberapa kalimat yang tak
benar itulah yang dianggapnya perlu diluruskan dengan revisi pada dua
perda tersebut. Tujuannya, agar si pengembang memiliki kewajiban yang
harus dipatuhi saat dia melakukan reklamasi di pulau-pulau Jakarta.
"Mulai
dari mewajibkan seluruh pulau reklamasi dibuat sertifikat hak
pengelolaan (HPL) atas nama DKI, fasilitas umum dan fasilitas sosial
harus kasi 40-50 persen, dan setiap tanah yang mereka jual, hak guna
bangunan dan hak pengelolaan yang mereka jual, maka DKI dapat 15 persen
dari NJOP."
"Dalam bentuk apa? Bisa bentuknya jalan inspeksi, buat bangun rusun, jembatan dan macam macam," sambungnya.
Kewajiban
15 persen ini lah yang diduganya berat dipenuhi pengembang. Sampai
terjadilah negosiasi dengan pihak legislatif dalam hal ini DPRD hingga
terjadilah kasus suap yang melibatkan pengembang ternama Agung Podomoro
Land dan anggota DPRD DKI M Sanusi.
"Keliatannya kawan-kawan kita
kurang senang dengan 15 persen ini. Mereka beberapa kali ngomong dengan
Bappeda kenapa enggak hitung 5 persen saja. Terus terang saya enggak
mau, itu namanya saya jual tanah, bangun. Bisa dipenjara saya. Saya
pengen 5 persen itu tanah DKI, 15 persen penjualan itu buat bangun
apartemen. Supaya karyawan karyawan pegawai pegawai tukang bersih yang
tinggal di pulau, pulau itu jangan diisi orang kaya dong. Kan masih ada
sopir, pekerja-pekerja pembantu tinggal di mana? Masa mesti datang dari
Bekasi Depok?" jelas Ahok.
"Memang ada beberapa kali ngomong, ada
laporan dari Pak Sekda dan Bu Tuti, waktu ketemu balegda mereka bilang
bisa enggak 15 persennya dihilangkan, dianggap saja 5 persen dari tanah,
saya bilang enggak bisa, saya kasih disposisi saya ancam Bappeda,
sekda, siapapun yang turunkan 15 persen, saya masalahkan. Berarti
korupsi,
ada deal, lalu mereka bilang bagaimana kalau enggak disetujui engga mau
putuskan gimana? Enggak usah diterusin, emang saya pikirin, sampai
ganti DPRD 2019 saja kalau mereka engga mau putuskan," ungkap panjang
lebar.
"Ini 15 persen kan keuntungan buat DKI loh, masa mesti
hilang, terus kalau mau dicabut gimana izinnya? ga bisa, kan dia dapat
izinnya sebelum saya. Makanya kalau ada yang mau menggugat izin pulau
ini, saya senang, kalau bisa digugat dibatalin? Aku ambil, aku kerja
sendiri."
(Sumber: www.merdeka.com)